OPINI, kejarberitanews.com – Pertambangan Timah di Bangka Belitung, dewasa ini menunjukan fakta bahwa selama dikelola oleh stakeholder yang berwenang dan pengusaha swasta yang berskala besar tidak serta merta membuat berdampak bagi peningkatan kesejahteran bagi masyarakat Bangka Belitung secara menyeluruh, praktik-praktik melawan hukum dari penambangan illegal higga permainan para oknum sementara ini bermuara pada dugaan perkara Tindak Pidana Korupsi Tata Niaga Timah dengan dugaan kerugian negara yang fantastis yaitu 300 Triliun Rupiah.
Bergulir nya perkara ini dalam proses hukum memberikan efek domino pada ekonomi dan penghidupan masyarakat yang menggantungkan kehidupanya bersumber dari pertambangan timah.
Pada tulisan ini penulis akan berusaha membedah proyeksi ke depan nya pasca keadaan diatas dalam aspek kepastian hukum dan kesejahteraan masyarakat serta perlindungan lingkungan hidup.
Bahwa sebagaimana yang telah terjadi di Bangka Belitung praktik penambangan illegal yang dilakukan masyarakat awam acapkali pada wilayah-wilayah yang diluar dari domain reklamasi para stakeholder yang berwenang, sehingga membuat lahan-lahan kosong pasca tambang tidak diketahui siapa yang harus bertanggung jawab dalam pemenuhan tanggungjawab penambangan nya, serta masyarakat yang hanya tau tentang menambang harus berurusan dengan aparat penegak hukum atas perbuatan penambangan nya yang illegal.
Bahwa terhadap gambaran diatas, rakyat dalam melakukan kegiatan penambangan nya dalam memenuhi beberapa kepentingan yaitu kepastian hukum, terpenuhi kesejahteraan rakyat dan tanggung jawab terhadap perlindungan lingkungan hidup. Undang-undang no 3 Tahun 2020 memuat norma akan adanya partisipasi rakyat dalam pengelolaan penambangan melalui mekanisme Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang dilakukan diatas bidang tertentu yang sudah ditetapkan oleh kementrian ESDM sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), saat ini melalui Keputusan Menteri ESDM tentang WPR PRovinsi Kepulauan Bangka Belitung ditetapkan sebanyak 123 Blok dengan luas 8.606 Ha yang berada di tiga kabupaten yaitu Bangka Tengah, Bangka Selatan, dan Belitung Timur. Terhadap WPR tersebut dapat diberikan IPR secara perseorangan yang merupakan penduduk setempat atau masyarakat asli dengan maksimal seluas 5Ha atau kepada Koperasi yang anggota nya adalah masyarakat setempat dengan maksimal seluas 10Ha.
Dalam regulasi diatas koperasi diberi ruang untuk melakukan pengelolaan penambangan sesuai dengan prinsip koperasi yang berasaskan kekeluargaan dan gotong royong secara demokratis terhadap anggotanya yang merupakan penduduk setempat, hal ini tentu menjadi angina segar bagi rakyat-rakyat penambang yang selama ini melakukan penambanganya dilakukan dengan tanda kutip illegal. Koperasi Penambangan Rakyat yang dapat dibuat ditiap desa pada 3 Kabupaten di Provinsi Kepulan Bangka Belitung memberikan kedudukan dan kepastian hukum kepada rakyat sendiri dalam melakukan pengelolaan penambangan nya. Dengan kepastian hukum tersebut kedepannya masyarkat yang menggatungakan hidupnya dari pertambangan tidak harus berurusan dengan APH dengan alasan legalitas.
Dari aspek kesejahteraan masyarakat dapat kita pahami bahwa koperasi secara spirit dasar hukumnya yaitu Undang-undang No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian menyatakan koperasi adalah Badan Hukum yang berperan sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan, oleh sebab itu tiap anggota koperasi memiliki suara yang sama dalam rapat anggota koperasi nya, tidak ada istilahnya rakyat pemodal yang lebih besar dari rakyat lainnya memiliki persentase suara lebih banyak. Jaminan kesejahteraan rakyat yang terlibat dalam koperasi ini dimulai dari modal awal koperasi yang terdiri atas dua jenis yaitu Simpanan Pokok, Simpanan Wajib, dana Cadangan, dan Hibah. Pada simpanan pokok tiap orang jumlah nya sama yang wajib dibayar oleh anggota koperasi pada saat masuk menjadi anggota, sedangkan simpanan wajib yang wajib dibayar dalam waktu dan kesempatan tertentu yang jumlahnya tidak harus sama. Meski secara persentase suara tiap anggota adalah sama yaitu one man one vote namun dalam pembagian Sisa Hasil Usaha dapat diberlakukan adil mengingat besarnya nya resiko diterima oleh anggota juga sebanding dengan modal yang diberikan pada simpanan wajib tadi yang semunya dapat disepakati dalam Anggaran Dasar koperasi. Pada aspek perlindungan lingkungan hidup koperasi penambangan rakyat sebagai pemegang IPR berdasarkan UU No 3 Tahun 2020 Tentang Pertambangan mineral dan Batubara dan peraturan pemerintah republik Indonesia no 78 Tahun 2010 mewajibkan Koperasi Penambangan Rakyat sebagai badan hukum pemegang IPR untuk tunduk dan patuh dalam regulasi lingkungan hidup termasuk diantaranya adalah reklamasi pasca tambang sebagaimana yang termuat dalam penjelasan regulasi diatas.
Diantara peluang-peluang diatas tentunya terdapat segenap tantangan yang harus dihadapi dalam tiga lanskap tersebut, pada ranah kepastian hukum nya meski dalam Undang-undang sudah mengatur jelas terhadap syarat-syarat pengajuan IPR baik oleh perseorangan maupun Koperasi, terdapat beberapa dokumen yang menjadi syarat pengajuan IPR yang pengurusan masing-masing dokumen tersebut belum tersosialisasikan dengan baik dan jelas di masyarakat, pada aspek kesejahteran rakyat ada ranah awal yaitu permodala pada masyarakat dan pemahaman teknologi pertambangan, sebab bagaimana masyarakat bisa sejahtera secara baik apabila aspek berusaha terkait modal masih minim dan teknologi pertambangan belum dikuasi dengan baik, dan yang terakhir pada ranah perlindungan lingkungan hidup, yang mengamanatkan reklamasi terhadap pemegang IPR berdasarkan peraturan pemerintah republik Indonesia No 78 Tahun 2010 reklamasi dan pasca tambang mewajibkan Pemerintah Kab/kota wajib menyusun rencana reklamasi dan rencana pasca tambang pada setiap WPR, perlu di terlusuri terhadap kabupaten-kabupaten di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang merupakan bagian dari WPR apakah sudah memuat regulasi daerah nya terkait dengan rencana reklamasi dan rencana pasca tambang nya, apabila belum ada maka sebaiknya dibuat regulasi terhadap pasca tambang dan reklamasi pada wilayah WPR tersebut seblum menerbitkan IPR, namun apabila sudah ada maka harus di dalami sudah sejauh mana regulasi tersebut menjangkau ruang-ruang lingkungan hidup.
Terhadap tantangan diatas pada ranah kepastian hukum hendaknya stakeholder yang berwenang menggiatkan mensosialisasikan kepada masyarakat yang wilayahnya sekitarnya masuk WPR, disamping sosialisasi adalah pendamping penasehat hukum di desa–desa guna mendampingi rakyat dalam penambangan rakyat baik dilakukan oleh perseorangan atau koperasi supaya pemegang-pemegang IPR dapat mengurus legalitas dan terhindar dari potensi-potensi pelanggaran hukum yang ada.
Pada ranah kesejahteraan rakyat terutama akses permodalan, harus ada bimbingan dan akses permodalan yang cukup sebagai titik awal dalam jalan kesejahteran rakyat, dan dari perlindungan lingkungan hidup harus dipastikan regulasi di tingkat kabupaten sudah memenuhi upaya-upaya reklamasi pasca tambang dan pada ranah pengawasan dan pelaporan pengelolaan lingkungan juga hendaknya dilakukan pendampingan.
Oleh: Yudha Kurniawan, S.H. (Ketua DPC PERMAHI Babel)