Bangka Belitung, kejarberitanews.com – Dalam beberapa kasus perambahan hutan yang melibatkan warga biasa, kadangkala putusan dijatuhkan bukan karena sebab keadilan. Namun sebab keharusan Majelis Hakim menjatuhkan putusan dalam sidang. Kisah berikutnya tentu saja adalah semacam telenovela yang menguras air mata penonton, Selasa 31 Januari 2023.
Contoh kasus yang dapat dijadikan pembelajaran adalah, putusan Pengadilan Negeri Raha Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara pada tahun 2005. Saat itu warga yang jadi pesakitan, La Siraka Bin La Haridensi dijatuhi hukuman 9 bulan karena mengerjakan kawasan hutan secara tidak sah dengan menanami ubi kayu,pisang dan tanaman semusim lainnya.
Dalam sidang dakwaan, JPU ternyata tidak mampu menghadirkan saksi yang membuktikan adanya perambahan hutan. Mirisnya lagi, setelah sidang dilakukan secara marathon selama ±7 bulan hingga tahun 2006. Majelis Hakim tetap berkeyakinan bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan sudah mengerjakan, menggunakan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah.
Penggalan paragraf diatas, dinukil dari dari Buku yang ditulis oleh ICW dan afiliasi lembaga swadaya lainnya dengan judul : “Mengelola Hutan dengan Memenjarakan Manusia” terbitan Mei 2007.
Sementara itu, redaksi baru saja mendapat informasi soal adanya rencana pemanggilan terhadap seorang warga yang memiliki kebun di Tahura mangkol berinisial HN.
Dalam kopi salinan surat pemanggilan oleh salah satu lembaga pemeriksa tersebut, walau nanti masih berstatus sebagai saksi, namun deretan pasal yang kelak menjerat HN, dinilai cukup mengerikan.
“Pasal 78 ayat (2) Jo. Pasal 50 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dalam Paragraf 4 Kehutanan Pasal 36 angka 19 Pasal 78 ayat (2) Jo. Pasal 36 angka 17 Pasal 50 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,” dikutip dari kopi surat.
Disaat yang sama, praktisi hukum di Bangka Belitung bertindak sebagai pengacara HN, dan diminta pendapat hukumnya, Adv. Boediono SH, MH dengan gamblang mengatakan perkara ini berawal dari adanya Laporan Masyarakat yang menuduh dan menjadikan klien kami sebagai Target Hukum yaitu telah melakukan Perambahan Hutan dengan cara menebang pohon secara besar besaran yang dihitung oleh oknum masyarakat yang melaporkan tersebut sekitar 10 hektar.
“Atas laporan tersebut klien kami yaitu Bapak HN alias AC telah bertemu dengan pelapor dan pada saat pertemuan tersebut atas kepolosan dan ketidaktahuan soal hukum klien HN alias AC dengan jujur mengatakan kepada pelapor bahwa memang dia memiliki kebun di Tahura yang dia peroleh dari leluhur mereka secara turun temurun yang luasnya sekitar kurang lebih 4 hektar namun baru di lakukan perawan sekitar 2 hektar. Kebun tersebut baru dikelola oleh klien kami mulai dari tahun 2020. Diatas lahan atau kebun tersebut klien kami tidak ada melakukan perambahan hutan hanya melakukan perawatan dan menanam pohon durian, alpukat dan melinjo, petai dan cempedak,” katanya.
Selanjutnya, lanjut Budiono, HN diminta menandatangani surat yang salah satu isinya pentingnya adalah mengakui soal Perambahan hutan yang sebesar 10 hektar menurut hitungan pelapor. Akibat dari isi surat pernyataan tersebut pada tanggal 4 Desember 2022 klien kami Bapak AN alias AC di panggil untuk yang pertama kali oleh Penyidik KLHK RI untuk dimintai keterangan Klarifikasi
“Dalam berita acara klarifikasi tersebut klien kami ditunjukkan bukti bukti berupa foto-foto gambar hutan Tahura yang telah gundul akibat Perambahan serta ditunjukkan juga foto Rumah rumah atau pondok kebun yang bukan milik HN,” terangnya.
Pertanyaan soal adanya Perambahan hutan, sambungnya, dan foto rumah atau pondok kebun HN alias AC menyatakan tidak mengetahuinya.
“Kami menilai pihak KLHK dalam menangani perkara ini tidak mengedepan kearifan lokal situasi dan budaya yang berjalan di tengah tengah masyarakat Bangka belitung KLHK RI hanya mengedepankan dan berbicara soal hitam dan putih. Pintu masuk perkara ini adalah tuduhan soal perambahan hutan yang dilaporkan oleh 2 orang masyarakat soal perambahan hutan seluas 10 hektar namun fakta di lapangan KLHK melakun proses hukum soal adanya aktivitas berkebun masyarakat yaitu klien lami bapak HN alias AC,” kata dia.
Budiono sebut, dirinya menilai pihak KLHK dalam menangani perkara ini tidak mengedepan kearifan lokal situasi dan budaya yang berjalan di tengah tengah masyarakat Bangka belitung. KLHK RI hanya mengendapan, dan berbicara soal hitam dan putih. Pintu masuk perkara ini adalah tuduhan soal perambahan hutan yang dilaporkan oleh 2 orang masyarakat soal perambahan hutan seluas 10 hektar namun fakta di lapangan KLHK hanya melakukan proses hukum soal adanya aktivitas berkebun masyarakat yaitu klien lami bapak HN alias AC.
Baca juga:
“Jika KLHK mempersoalkan soal adanya aktivitas berkebun maka mestinya KLHK tidak hanya melakukan proses hukum terhadap klien kami saja karena fakta hukumnya dan telah dilihat secara langsung oleh mata kepala penyidik KLHK bahwa di kawasan Tahura tersebut telah selama ini dikelola oleh ratusan masyarakat untuk bercocok tanam berkebun disana,” urai Boediono.
Tak cuma itu, lawyer pun menilai dalam hal ini KLHK telah melakukan tebang pilih dan berlaku zalim dengan masyarakat dalam penegakan hukum dengan hanya memproses hukum HN saja. Dikhawatirkan akan timbul persepsi “TO” atau target operasi tanpa dasar hukum yang jelas.
“Kami meminta kepada pihak KLHK untuk mengeluarkan kebijakan hukum meninjau ulang persoalan masyarakat yang berkebun ini apakah layak untuk di penjarakan. Karena jika persoalan berkebun ini tetap diproses hukum pihak KLHK hanya berbicara hitam dan putih saja,” tegas Boediono.
Boediono mengingatkan, bahwa manfaat penegakan hukum itu ada tiga, yang pertama untuk mendapatkan kepastian hukum, kedua adalah untuk mendapatkan keadilan dan yang ketiga adalah mendapatkan manfaat.
Dari ketiga asas tersebut jika KLHK tetap memproses soal klien/ masyarakat yang telah melakukan keterlanjuran berkebun maka yang didapatkan hanyalah soal kepastian hukum, sedangkan keadilan dan manfaat hukumnya tidak terpenuhi karena hanya klien kami saja saja yang dilakukan proses hukum,” tukasnya.
Di sisi lain, media juga berusaha membuat berita berimbang dengan menghubungi pihak lembaga pemeriksa mulai sore tadi, namun sayang masih belum tersambung. Dan akan terus diupayakan oleh awak media. (Red)